Tag: Menjamurya Bisnis Kedai Kopi

Menjamurya Bisnis Kedai Kopi, Hanya Sekadar Tren?

Menjamurya Bisnis Kedai Kopi, Hanya Sekadar Tren? – Financial Times menyampaikan laporan bahwa, jumlah kedai kopi atau atau coffee shop artisan dan gerai kopi di Indonesia meningkat dua kali lipat terhitung dari 2003. Pertambahan untuk jumlah kedai kopi ini digadang-gadang tak lepas dari tren gaya hidup “ngopi-ngopi” yang sedang menghinggapi milenial.

Mokh. Alkahfi Kamaru, sang pemilik gerai kopi “Rumah Kawan” tak menyangkal bahwa menjamurnya kedai kopi memang seiring dengan gandrungnya milenial mencari tempat-tempat nongkrong seperti kedai kopi. “Saya sebelumnya pernah menuliskan bahwa pencarian kedai kopi di Google itu mengalami peningkatan, dari 50 persen ke 100 persen,” tuturnya. slot88

Menjamurya Bisnis Kedai Kopi, Hanya Sekadar Tren?

Tren berbagai gaya hidup milenial akan ngopi juga menjadi alasan Kahfi membuka kedai kopi. “Yang membuat pede sebenarnya momen. Ini adalah momen kopi. Saya memanfaatkan momen ini,” ucap pria yang juga seorang fotografer itu. www.benchwarmerscoffee.com

Marthin Sinaga, pemilik dari kedai “Kopi Sondang” juga menuturkan bahwa, banyak penggiat kopi di hilir (kedai kopi), latar mereka usaha kopi lebih karena tren. Namun ia tak setuju jika budaya ngopi kemudian menjadi tren. Pasalnya, budaya ngopi sudah berkembang sejak dahulu.

“Budaya didalam meminum kopi itu berkembang dinegara penghasil kopi (Indonesia), kita bisa mendapatkan kopi dari daerah manapun. Yang mana kemudian ada tren dari Eropa atau dari luar (negeri) yang ke sini, kemudian menjadi salah satu pemicunya, tidak bisa dinafikan juga. Akan tetapi saya meyakini bahwa ini bukan hanya tren yang akan hilang nantinya seperti tren batu akik atau lainnya, ” jelas pria berkacamata itu.

Agung Nugraha yang merupakan pemilik The Buncitmen Coffee sendiri mengungkapkan bahwa kopi memang lagi seksi dan akan selalu seksi, Indonesia kaya akan kopi dari sabang sampai merauke. Indonesia punya budaya kopi.  Akan tetapi menurutnya, tren ini masuk pada apa yang disebut sebagai “peridoe kopi”. Agung menyampaikan bahwa, sekarang ini memasuki periode kopi ke-4.

Periode pertama itu di mana kopi saset muncul. Kemudian, seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai komplain. “Kok kopi kaya gini,” ucap Agung. Lalu, lahirnya periode kedua, di mana Starbucks menjadi pionirnya. “Tetapi orang komplain lagi, kenapa budaya nongkrongnya yang ditonjolin, bukan kopinya,” tambah pria lulusan Universitas Padjadjaran itu.

Sesudah itu, di tahun 2000an, lahirlah periode ketiga, di mana kopi sebagai aktor utamanya. Akan tetapi masalahnya, kata Agung, walau kopi sebagai aktor utama, tapi tidak ada keunikan di dalamnya. Orang-orang pada saat datang ke cafe-cafe atau kedai kopi saat itu melihat hal yang sama, toples berisi biji kopi dan mesin kopi, jadi menunya sama dan penampilannya sama.

“Akhirnya pun, kedai kopi kini bermacam-macam, ada yang memakai interior batu dan juga ada yang memakai tema serba kayu, atau lain sebagainya,” terangnya.

Tak Menjadi “Manusia Kopi”

Biarpun kedai kopi menjamur di mana-mana, namun disayangkan tak banyak para pemilik kedai kopi ini menjadi “manusia kopi” alias memahami seluk beluk kopi itu sendiri. Hal tersebut diungkapkan Agung. Oleh karena itu, banyak juga kedai kopi yang sebenarnya tutup di tengah jalan.

Menjamurya Bisnis Kedai Kopi, Hanya Sekadar Tren?

” Jika saya mencermati sih sebetulnya pendiri kedai kopi itu berbagai macam ada yang mungkin ngeliat tren ikut-ikutan gitu ya, hanya sebab dia nggak mengetahui kopi selanjutnya tumbang,” terang pria yang sempat mengajar di pedalaman itu.

“Saya malahan amat bahagia pada orang yang (buka kedai) itu menjadi manusia kopi yang mengetahui bagaimana kopi itu sendiri, tentu soulnya dapet. Meskipun kedainya sederhana,” tambahnya.

Marthin Sinaga pun mengakui hal yang sama. Pendapatnya, mereka yang mebuka kedai kopi kemudian tumbang di tengah jalan, karena mereka kurang memahami manajemen internal, soal kongsi dan lainnya. “Dan yang terlebih adalah umumnya yang aku temui mereka yang berkecimpung dalam bisnis itu bukan orang yang paham atau tak menguasai produknya (kopi),” kata mantan wartawan itu.

Pendapat dari Kahfi, sekadar gaya memiliki kedai kopi, tempat nongkrong kekinian, tetapi tidak bisa mengemas suatu produk supaya dikenal, bisa mendatangkan banyak orang, bisa laku, adalah faktor lain yang menjadi utama banyaknya kedai kopi tak bertaham lama.

Perkembangan Kedai Kopi

Kedai kopi telah hadir semenjak zaman dahulu, melebar dan melebur menjadi budaya dan ritual manusia dalam cangkir-cangkir kopi. Dilansir dari Ottencoffee, kedai kopi pertama di dunia tercatat dan diketahui muncul pada tahun 1475 di Kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) beranama Kiva Han.

Menjamurya Bisnis Kedai Kopi, Hanya Sekadar Tren?

Kedai kopi juga diketahui menjadi coffee shop pertama yang buka dan melayani pengunjungnya dengan kopi khas Turki. Saat era itu, kopi adalah unsur penting dalam kebudayaan Turki. Kopi di negara Turki itu disajikan kuat, hitam dan tanpa filter.

Lalu, di tanah Eropa sendiri, kedai kopi dibuka pada 1529 oleh Franz Georg Kolschitzky. Apa bila diselidiki, sebelumnya kedai kopi itu dibuka, Kota Wina Austria diserbu oleh tentara Turki. Dan para tentara ini meninggalkan banyak sekali pasokan kopi di Wina pada saat mereka melarikan diri dari Wina.

Kolschitzky sendiri pun ternyata dulu pernah tinggal di Turki dan dia merupakan satu-satunya orang di Wina yang mengetahui betapa berharganya biji kopi mengingat tidak popularnya kopi pada masa itu. Pada kedai kopinya ini Kolschitzky memperkenalkan gagasan minum kopi dengan menggunakan penyaring dan juga menikmati kopi dengan susu dengan gula.

Minuman yang merupakan ide dari Kolschitzky ini mendapat sambutan baik dan sejak itu mulailah bermunculan kedai-kedai kopi yang tak hanya menjual kopi tetapi juga makanan manis sebagai teman minum kopi.

Setelah itu, penyebarannya meluas hingga sampai ke Inggris.  Kedai kopi pertama di Inggris dibuka pada 1652. Walaupun kedai kopi telah popular di Eropa, inspirasi dibukanya kedai kopi di Inggris tetap berkiblat dari Turki.

Pedagang Inggris pun yang menjual barang-barang asal Turki (termasuk kopi) ditinggakan oleh dua budaknya yang berniat membuka bisnis mereka sendiri. Dan semenjak itulah sebuah kedai kopi bernama “The Turk’s Head” lahir di Inggris.

Para masyarakat Inggris saat masa itu menyebut kedai kopi mereka dengan sebutan “penny universities” karena harga kopinya dan para bisnisman kelas atas sering nongkrong di sana.

Ketika Amerika dijajah oleh Inggris, saat itu jugalah budaya kedai kopi masuk ke sana. Perannya kedai-kedai kopi di Amerika awalnya sama dengan yang ada di Inggris yaitu sebagai pusat komunitas bisnis. The Tontine Coffee House saat 1792 di New York adalah lokasi awal dari New York Stock Exchange dikarenakan banyakannya transaksi bisnis yang dilakukan di sana.

Di Indonesia sendiri, menurut laman coffeeland, kedai kopi sudah ada sejak empat abad yang lalu, tepatnya ketika India mengirimkan bibit biji kopi Yemen atau yang dikenal dengan Arabica kepada Pemerintahan Belanda di Batavia pada tahun 1696. 

Warung Tinggi yaitu Tek Sun Ho dikatakan sebagi kedai kopi pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1878. Kedai kopi tersebut sebelumnya bernama Tek Sun Ho yang didirikan oleh Liaw Tek Soen.